~/blog/segelas-teh-dan-hujan-yang-biasa
Published on
802 words4.015 min read

Segelas Teh dan Hujan Yang Biasa

Segelas Teh dan Hujan Yang Biasa
Authors

Hari itu mendung. Awan menggantung di atas langit desa Kedungwuni, mengendap tanpa niat untuk segera jatuh sebagai hujan. Beberapa orang berdiri di sekitar lubang tanah yang sudah siap menerima tubuh. Tak lebih dari dua puluh orang. Tak ada karangan bunga. Tak ada pelayat dari kota, hanya tetangga dan kerabat dekat. Mereka semua mengenal almarhum sebagai “Pak Man.”

Jenazah dibungkus kafan putih yang mulai lembap oleh peluh tanah. Tak ada pelukisan air mata dramatis, hanya lirih doa dan isakan kecil. Seorang anak muda membaca talqin, sementara yang lain menunduk, membiarkan kenangan-kenangan sederhana tentang pria itu mengalir dalam hati masing-masing. Seorang laki-laki tua, mungkin seumuran almarhum, menyalakan rokok kretek pelan-pelan setelah tanah terakhir ditimbun. Katanya pelan, “Wong biasa, hidupnya tenang, matine ya koyo ngene... anteng.”

Dan begitulah. Pak Man pergi dalam kesederhanaan yang sama seperti hidupnya.

Namanya bukan benar-benar “Pak Man.” Nama aslinya adalah Sumarno. Lahir pada hari Selasa Pahing, tahun 1957, dari pasangan petani tembakau. Ia anak keempat dari tujuh bersaudara, dan sejak kecil, ia sudah terbiasa bangun pagi untuk mengambil air dari sumur di pinggir sawah. Rumah masa kecilnya beratap seng yang berkarat, dengan lantai tanah yang baru disemen dua puluh tahun kemudian.

Sumarno bukan murid cemerlang di sekolah. Ia tidak pandai berhitung, lebih suka menggambar rumah-rumahan dan sawah di sudut buku catatannya. Namun ia bukan pula murid nakal. Ia hanya biasa—datang, duduk, mendengarkan, dan pulang. Tak pernah juara kelas, tapi tak pernah tinggal kelas.

Setelah lulus SMP, ia berhenti sekolah. Alasannya sederhana: orang tuanya tak mampu, dan ia merasa tak ada yang bisa ia kejar di kota. Maka ia mulai bekerja sebagai kuli bangunan, lalu sopir truk antarkota, dan akhirnya, setelah menikah, membuka warung kelontong kecil di depan rumah.

Ia menikah dengan Sriatun—tetangga satu RT, anak seorang tukang kayu. Mereka menikah bukan karena cinta yang meluap-luap, tapi karena saling tahu dan tak ada alasan untuk menolak. Cinta datang perlahan-lahan, setelah tahun-tahun bersama, setelah anak pertama mereka lahir, lalu kedua, dan terakhir ketiga—yang akhirnya hanya sempat hidup dua tahun sebelum sakit demam tinggi dan pergi, tanpa sempat tahu huruf.

Kehidupan Sumarno sederhana. Bangun pukul lima, menyapu halaman, menyeduh teh panas, membuka warung. Ia menjual sabun, minyak, beras eceran, kopi sachet, mi instan, rokok, dan sesekali telur. Pelanggannya para tetangga, dan ia hafal kebiasaan mereka: Bu Painem akan membeli mi jam tujuh, Pak Dirman beli rokok tiap sore, dan anak-anak kecil suka mencuri permen ketika ia lengah.

Ia tidak pernah bepergian jauh. Paling banter ke kota kecamatan untuk membayar listrik atau membeli stok barang. Ia tidak pernah naik pesawat, tidak punya paspor, bahkan ke luar provinsi pun jarang. Tapi ia tidak pernah merasa kehilangan. Baginya, dunia cukup ada di halaman rumah, warung kecil, sawah yang menguning di musim panen, dan langit senja yang kadang berwarna merah muda.

Pak Man bukan tokoh masyarakat. Ia tidak pernah jadi ketua RT, tidak pernah ikut pemilu lebih dari sekadar mencoblos. Tapi ia dikenal karena selalu menyapa siapa saja yang lewat, walau hanya dengan senyuman atau anggukan kepala. Ia sering membantu tetangga, meminjamkan uang lima ribu, kadang sepuluh ribu, meski tahu kemungkinan dibayar kecil.

Setiap Jumat pagi, ia akan menyapu makam di ujung desa. Bukan karena punya kewajiban, tapi karena katanya, “biar yang mati tetap bersih rumahnya.” Ia tidak terlalu religius, tapi juga tidak abai. Salat kadang bolong, tapi tidak pernah menghina. Saat ada pengajian di langgar, ia datang diam-diam, duduk di belakang sambil membawa termos teh dan beberapa biskuit.

Hidupnya mengalir seperti air sumur. Tak deras, tapi tak juga kering.

Penyakit datang perlahan, seperti kabut. Mula-mula hanya batuk. Lalu sesak. Lalu tubuhnya melemah. Ia tetap menolak dirawat. “Ah, paling masuk angin,” katanya. Tapi ketika suatu pagi ia tidak bangun seperti biasa, dan teh di gelasnya masih utuh, Sriatun tahu bahwa Sumarno telah pergi dengan diam.

Kematian pun tidak dramatis. Tidak ada jeritan. Hanya tangis pelan dari anak-anaknya, kini sudah dewasa dan tinggal di kota. Para tetangga membantu menggali liang kubur, membawa nasi bungkus, dan menyiapkan tikar. Tidak ada ambulans. Jenazah diantar dengan mobil pinjaman dari masjid.

Kini, setelah pemakaman, warung kecil itu kosong. Gelas teh terakhirnya masih ada, berembun sisa semalam. Ada kursi rotan tua tempat ia biasa duduk, menghadap jalan, menyapa anak-anak yang bermain. Di rak, masih tergantung kalender lama dengan lingkaran merah pada tanggal 7—hari ulang tahun cucunya yang tidak sempat ia temui.

Tetangga kadang masih menoleh ke warung itu, seakan berharap melihat sosok tua yang duduk sambil membaca koran bekas. Tapi mereka tahu, Sumarno bukan tokoh besar yang akan dikenang dalam sejarah. Ia hanya akan hidup dalam cerita-cerita kecil, dalam teh manis yang diseduh, dalam rokok yang dibakar sore hari, dalam senyuman orang biasa yang pernah hidup dengan biasa dan pergi dengan biasa pula.

Tapi justru dalam kebiasaan itulah, ia abadi.

Akhir.

Cerita ini untuk mereka yang hidupnya tidak ditulis dalam buku sejarah, tapi tertulis di hati orang-orang yang pernah disapanya dengan hangat.